Opini, DTulis.com - Festival Olahraga Masyarakat Nasional (Fornas) VIII tahun 2025 di NTB tinggal menunggu hari. Fornas 2025 akan dilaksanakan mulai pada tanggal 26 Juli - 1 Agustus 2025. Berbagai macam spanduk dan bahan promosi dibuat oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB). Dan yang paling menarik adalah Pemerintah sejak awal sudah merasa percaya diri (PD) bahwa kegiatan Fornas ini akan sangat menguntungkan tidak hanya bagi para atlet, namun bagi pelaku Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM).
Di beberapa media online Bapak Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal menegaskan bahwa penyelenggaraan Festival Olahraga Masyarakat Nasional (Fornas) VIII tahun 2025 di NTB akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi daerah. Tidak hanya dari sukses dari sisi penyelenggaraan, event Fornas ini juga akan berdampak langsung ke masyarakat.
Bahkan tidak hanya Gubernur, beberapa panitia penyelenggara juga sudah mengeluarkan statemennya di beberapa rapat-rapat maupun di media online.
Namun, apakah hal itu benar? Atau pelaksanaan kegiatan Fornas ini hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja? dan tidak sesuai dengan slogan "Kalah Menang Semua Senang".
Sejak awal, pemerintah daerah melalui Anggaran Belanja Daerah mengalokasikan anggaran sebesar 28 milyar untuk kegiatan Fornas ini. Menurut Plh Sekretaris Daerah (Sekda) NTB Lalu Mohammad Faozal sebelumnya mengatakan anggaran yang diberikan senilai Rp 38 miliar, namun sebenarnya Rp 28 miliar.
Jika kita mengacu kepada teori bisnis, jangan sampai modal yang kita keluarkan tidak sebanding dengan apa yang diharapkan. Karena sejak awal, kita terlalu percaya diri akan keuntungan yang akan diperoleh.
Mengapa penulis mengatakan seperti itu? Saat ini berbagai gejolak dari pelaku usaha juga sudah mulai bermunculan. Yang terbaru datang dari kalangan pengusaha transportasi lokal. Mereka menyatakan tidak dilibatkan dalam penyediaan armada untuk mobilitas belasan ribu kontingen yang akan hadir.
Melalui Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Lombok Tengah, para pelaku trasportasi mengungkapkan kekecewannya. Ketua Organda Lombok Tengah H. Lalu Basir, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan panitia yang dinilai membatalkan secara sepihak penggunaan armada lokal dan memilih mendatangkan kendaraan dari luar daerah. Para pelaku trasnportasi ini juga mengungkapkan kekecewannya dengan cara aksi dan mogok di depan kantor gubenur.
Selain itu, para pelaku trasnportasi ini mempertanyakan urgensi penggunaan kendaraan dari luar NTB, mengingat armada lokal dinilai cukup memadai dan telah berpengalaman dalam mendukung berbagai event nasional seperti MotoGP.
Fornas adalah ajang inklusif yang melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan.
Berbagai cabang olahraga rekreasi yang ditampilkan, seperti senam kreasi, permainan tradisional, dan bela diri lokal, menargetkan partisipasi luas dari komunitas. Ini membuka peluang ekonomi di sektor informal yang biasanya digerakkan oleh UMKM kecil. Seperti apa peluang yang ada ini dapat diakses oleh pedagang kecil? Atau pedagang kecil yang ada di NTB menjadi penonton di rumahnya sendiri?.
Tantangan untuk UMKM
Namun, dalam pelaksanaan event berskala nasional, tantangan utama justru datang dari ketimpangan akses dan kekuatan modal. Pengusaha besar yang memiliki koneksi, pengalaman, dan modal yang cukup cenderung lebih siap menyambut peluang dari event seperti FORNAS. Mereka bisa dengan cepat menyewa booth strategis, menjalin kerja sama dengan panitia penyelenggara, menjadi sponsor resmi, hingga mengamankan kontrak pengadaan logistik.
Hotel-hotel berbintang, restoran besar, dan jaringan transportasi nasional kemungkinan besar akan menjadi mitra utama dalam akomodasi dan konsumsi peserta FORNAS. Akibatnya, UMKM kecil yang tidak memiliki akses informasi dan infrastruktur bisnis yang memadai hanya akan mendapat sisa-sisa keuntungan ekonomi, bahkan bisa tersingkir oleh dominasi usaha besar yang lebih terorganisir.
Tantangan berikutnya adalah minimnya informasi dan jaringan. Banyak pelaku usaha kecil tidak mengetahui prosedur pendaftaran untuk menjadi vendor atau peserta pameran dalam kegiatan tersebut. Informasi yang biasanya disebarkan melalui jaringan resmi pemerintah, asosiasi bisnis, atau media digital belum tentu dapat dijangkau oleh pengusaha di desa atau kawasan pinggiran. Kurangnya akses ini membuat pengusaha kecil tertinggal dari pelaku usaha besar yang lebih terhubung dan memiliki sumber daya informasi lebih baik.
Selain itu, keterbatasan kapasitas produksi menjadi kendala nyata. Ketika permintaan melonjak selama berlangsungnya Fornas, UMKM kecil sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar karena keterbatasan alat, tenaga kerja, dan bahan baku. Hal ini membuat mereka kalah bersaing dengan pengusaha besar yang siap dengan stok dan sistem produksi massal.
Di sisi lain, pengusaha kecil juga menghadapi tantangan dari sisi branding dan pemasaran. Dalam kompetisi yang ketat di lokasi event, usaha kecil yang tidak memiliki tampilan produk menarik, kemasan profesional, atau strategi promosi digital yang kuat akan sulit menarik perhatian pengunjung.
Tak kalah penting, banyak UMKM juga belum memiliki legalitas usaha yang lengkap seperti izin PIRT, sertifikasi halal, atau nomor induk berusaha (NIB), yang kerap menjadi syarat utama untuk bisa ikut serta secara resmi dalam acara nasional. Tanpa pendampingan dan afirmasi dari pemerintah, pengusaha kecil akan kesulitan mengatasi tantangan ini dan kehilangan peluang besar dari Fornas 2025.
Peran Pemerintah Daerah: Penentu Arah Kebijakan.
Dalam konteks ini, peran pemerintah daerah menjadi sangat penting. Tanpa regulasi dan kebijakan afirmatif yang berpihak pada UMKM kecil, maka potensi ekonomi dari Fornas 2025 akan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha besar. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di NTB perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi dan memberdayakan UMKM lokal.
Untuk memastikan pengusaha kecil dan UMKM benar-benar merasakan manfaat dari pelaksanaan FORNAS 2025, pemerintah daerah NTB harus mengambil peran aktif melalui kebijakan yang berpihak dan tindakan konkret di lapangan. Pemerintah Daerah perlu menyediakan ruang khusus bagi UMKM di lokasi acara, seperti zona kuliner dan produk lokal, dengan biaya sewa terjangkau atau bahkan gratis. Hal ini penting untuk memberi kesempatan yang setara bagi pelaku usaha kecil bersaing dengan pengusaha besar.
Tak kalah pentingnya, Pemerintah Daerah harus melakukan sosialisasi dan pendataan UMKM secara menyeluruh agar mereka mendapatkan informasi lengkap mengenai prosedur pendaftaran, pelatihan, serta potensi kemitraan selama Fornas berlangsung.
selanjutnya, diperlukan program pendampingan teknis seperti pelatihan pengemasan produk, pemasaran digital, dan manajemen usaha agar UMKM lebih siap menghadapi lonjakan permintaan. Pemerintah bisa menggandeng koperasi, perbankan, dan lembaga keuangan mikro untuk menyediakan akses pembiayaan yang cepat dan mudah bagi pelaku usaha kecil.
Terakhir, regulasi kemitraan antara pelaku usaha besar dan UMKM harus dibuat agar tercipta kolaborasi yang saling menguntungkan. Jika langkah-langkah ini dilakukan secara konsisten, maka Fornas 2025 tidak hanya menjadi event olahraga, tetapi juga momen pemberdayaan ekonomi rakyat di NTB.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Daripada melihat pengusaha besar sebagai ancaman bagi UMKM, pendekatan yang lebih konstruktif adalah menciptakan kolaborasi antara keduanya. Pengusaha besar tentu memiliki keunggulan dalam hal manajemen, promosi, dan skala operasi, sementara UMKM punya kekuatan dalam keunikan produk dan keterikatan lokal. Sinergi keduanya dapat menghasilkan dampak ekonomi yang jauh lebih merata.
Misalnya, restoran besar bisa menjual menu khas dari usaha rumahan, hotel bisa memajang kerajinan lokal sebagai bagian dari dekorasi atau merchandise untuk tamu, dan event organizer besar bisa melibatkan komunitas lokal sebagai pengisi acara budaya. Dengan pola ini, Fornas bukan hanya menjadi ajang olahraga, tetapi juga momentum pemberdayaan ekonomi lokal berbasis kolaborasi.
Salah satu hal yang perlu diwaspadai adalah risiko komersialisasi berlebihan yang mengubah event rakyat menjadi ajang bisnis elitis. Jika tidak diatur, Fornas bisa berubah menjadi festival yang didominasi oleh sponsor besar, harga makanan dan produk melonjak, dan masyarakat lokal hanya menjadi penonton.
Dalam skenario ini, esensi Fornas sebagai ajang budaya dan olahraga rekreasi bisa hilang. Pemerintah dan panitia harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan finansial penyelenggaraan dan nilai-nilai partisipatif yang menjadi ruh utama dari Fornas. Salah satu caranya adalah dengan membatasi monopoli vendor besar dan memberi ruang kepada pelaku usaha kecil secara proporsional.
Fornas 2025 di NTB memang membawa harapan besar bagi perekonomian daerah, tetapi siapa yang diuntungkan sangat tergantung pada bagaimana event ini dikelola. Jika pemerintah mampu melibatkan UMKM kecil secara aktif dan memberikan mereka akses yang adil, maka mereka bisa menjadi penerima manfaat utama.
Namun jika dibiarkan berjalan tanpa regulasi inklusif, maka keuntungan akan cenderung dikuasai oleh pengusaha besar yang lebih siap secara modal dan jaringan. Maka dari itu, keadilan ekonomi dalam Fornas hanya bisa tercapai jika ada keberpihakan nyata terhadap pelaku usaha kecil yang menjadi fondasi ekonomi lokal.
Semoga isu yang mulai menggelinding terkait masih lemahnya koordinasi antar Penitia Lokal dengan Panitia Pusat, koordinasi Panitia dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Panitia dengan pelaku usaha bisa dicairkan segera. Agar, Optimis yang berlebihan sejak awal Fornas ini mampu menggerakkan ekonomi local dan pengusaha kecil benar-benar menikmatinya. Dan tidak hanya menjadi penonton dirumahnya sendiri.
Opini oleh : Maharani
0Komentar